Berita HarianBerita LainnyaBerita PilihanKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangPilihan EditorProvinsi BantenSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : KRISIS PANGAN MENGINTAI, MASIHKAH IMPOR JADI JAWABAN?

Penulis : Fitrianingsih

Senin 14 April 2025 | 14:08

Editor : SinaraBanten.


SINARABANTEN.COM – Krisis pangan saat ini bukan lagi sekadar bayang-bayang ancaman global, melainkan telah menjadi kenyataan yang perlahan menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Ketahanan pangan kita diuji oleh kombinasi tekanan besar seperti perubahan iklim, degradasi lahan pertanian, dan tingginya ketergantungan terhadap impor bahan pokok. Di tengah fluktuasi harga global dan ketidakpastian geopolitik dunia, semakin jelas bahwa Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada impor sebagai jalan pintas. Ketergantungan ini menciptakan risiko yang amat besar terhadap stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Pertanyaannya kini adalah: apakah impor masih layak dipertahankan, atau sudah saatnya kita membangun pondasi kemandirian pangan yang kuat?

Indonesia memiliki wilayah daratan yang luas, tanah yang subur, dan keanekaragaman hayati yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam membangun ketahanan pangan nasional. Selain itu, jumlah penduduk yang besar semestinya dapat dimaksimalkan sebagai kekuatan sumber daya manusia di sektor pertanian dan perikanan. Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Justru, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan ketergantungan impor pangan tertinggi di Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam pengelolaan pangan nasional yang belum juga diselesaikan secara tuntas.

Fakta menunjukkan bahwa enam bahan pangan pokok seperti beras, gula, bawang putih, garam, daging sapi, dan kedelai masih harus dipenuhi melalui impor. Pada 2024, Indonesia mengimpor 4,52 juta ton beras—angka tertinggi dalam tujuh tahun terakhir—yang menandakan ketidakmampuan produksi domestik dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri. Impor gula pun tidak kalah besar, mencapai lebih dari 5 juta ton, di saat pemerintah sebelumnya berjanji tidak akan lagi mengimpor bahan pangan. Komoditas lainnya seperti bawang putih, garam industri, dan daging sapi juga terus didatangkan dari negara lain karena keterbatasan kapasitas produksi lokal. Kondisi ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pertanian nasional, tetapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya kedaulatan pangan Indonesia.

Krisis pangan yang terjadi bukan tanpa sebab. Perubahan iklim global berdampak besar terhadap pola tanam dan curah hujan, menyebabkan gagal panen di berbagai wilayah. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau permukiman terus terjadi tanpa kendali. Belum lagi minimnya infrastruktur pendukung seperti irigasi, alat pertanian modern, dan akses terhadap pupuk serta bibit unggul, yang memperlambat peningkatan produktivitas pertanian. Ketergantungan pada impor yang berlangsung terus-menerus juga telah mengabaikan potensi petani lokal, sekaligus membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga pasar global. Semua ini menuntut kita untuk meninjau ulang sistem pangan nasional secara menyeluruh.

Ketergantungan terhadap impor bukan hanya soal ekonomi, tapi juga menyangkut kedaulatan bangsa. Negara yang tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri akan selalu berada dalam posisi lemah dalam percaturan global. Selain itu, lonjakan harga di pasar internasional akan langsung berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah di dalam negeri. Situasi ini membuat petani lokal semakin terpinggirkan, karena produk lokal kalah bersaing dari produk impor yang masuk dengan harga lebih murah. Jika terus dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan kemampuan produksi, tetapi juga kehilangan generasi petani masa depan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia harus berani mengambil langkah strategis jangka panjang. Peningkatan produksi pangan dalam negeri wajib menjadi prioritas, termasuk pemanfaatan lahan tidur dan pengembangan teknologi pertanian modern. Diversifikasi sumber pangan juga harus digalakkan agar konsumsi masyarakat tidak bertumpu pada satu komoditas saja, terutama beras. Sumber karbohidrat alternatif seperti singkong, jagung, dan sagu perlu diperkenalkan kembali sebagai bahan pangan utama di tingkat rumah tangga. Ini sekaligus menjadi peluang bagi UMKM dan industri pangan lokal untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri.

Infrastruktur pertanian juga harus mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat hingga daerah. Akses air untuk irigasi, perbaikan jalan tani, dan gudang penyimpanan hasil panen akan memperkuat rantai distribusi pangan dalam negeri. Teknologi digital juga bisa dimanfaatkan untuk mempertemukan petani dan konsumen secara langsung, sehingga nilai jual hasil pertanian bisa lebih adil. Pemerintah perlu memberikan insentif dan perlindungan harga terhadap hasil panen petani lokal agar mereka tidak dirugikan saat harga pasar anjlok. Tanpa jaminan seperti ini, sektor pertanian akan selalu terombang-ambing oleh pasar.

Selain itu, perlu ada regenerasi petani agar sektor pertanian tidak hanya didominasi oleh generasi tua. Generasi muda perlu dilibatkan dan diberdayakan, baik melalui pelatihan, akses modal, maupun pemanfaatan teknologi digital. Jika pertanian tidak dibuat menarik dan menjanjikan secara ekonomi, maka jangan heran jika petani akan semakin langka. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus menciptakan ekosistem yang mendukung pertanian sebagai profesi masa depan. Budaya konsumsi masyarakat pun perlu diarahkan ulang agar mencintai produk lokal dan menghargai hasil petani sendiri.

Impor memang bisa menjadi solusi darurat saat kondisi produksi dalam negeri benar-benar terpuruk. Namun menjadikannya sebagai kebijakan utama justru berisiko jangka panjang. Ketahanan pangan sejatinya tidak hanya soal ketersediaan bahan makanan, tetapi juga soal kendali, keberlanjutan, dan keberpihakan pada rakyat sendiri. Kita butuh keberanian politik untuk keluar dari ketergantungan ini, dan membangun sistem pangan yang tangguh dari dalam negeri.

Krisis pangan memang sedang mengintai, dan kita tidak bisa terus berpura-pura aman hanya karena rak-rak supermarket masih penuh. Di balik itu, ada krisis sistemik yang harus segera dibenahi. Indonesia tidak kekurangan lahan, tidak kekurangan tenaga, dan tidak kekurangan semangat. Yang kita butuhkan sekarang adalah visi jangka panjang dan komitmen kolektif untuk mengubah arah kebijakan pangan nasional. Bila tidak sekarang, kapan lagi?

#SinaraBantenMelihat Ketahanan pangan bukan tentang rak supermarket yang penuh, tapi tentang:

  • Kemandirian: Produksi oleh petani lokal

  • Kedaulatan: Bebas dari tekanan pasar global

  • Keberlanjutan: Untuk generasi mendatang

© 2025 SINARABANTEN – Suara Nyata Rakyat Banten

Baca Juga

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com