Opini : Mega Korupsi Indonesia: Warisan Orde Baru, Pelanggaran HAM, dan Ilusi Hukuman Mati

Penulis : Danish Muhammad Mumtaz
Jumat 20 Juni 2025 | 21:29
Editor : SinaraBanten.
SinaraBanten.com — Mega korupsi terus mengakar di Indonesia karena lemahnya pengawasan, kolusi antar elit, dan budaya impunitas. Data media terbaru menyebut beberapa kasus megakorupsi besar: misalnya kasus tata kelola minyak dan produk kilang PT Pertamina (diperkirakan menimbulkan kerugian negara Rp 968,5 triliun selama 2018–2023); korupsi tata niaga timah PT Timah Tbk (kerugian sekitar Rp 300 triliun); skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1997–1998 (kerugian Rp 138,4 triliun); dan perampasan lahan PT Duta Palma (kerugian Rp 78 triliun).
Pola-pola korupsi ini menunjukkan betapa korporat dan pejabat memanfaatkan celah hukum, tata kelola sumber daya yang lemah, serta jaringan oligarki demi keuntungan pribadi. Penegakan hukum memang mulai berjalan – misalnya Kejaksaan Agung menetapkan 16 tersangka petinggi PT Timah dan bos Duta Palma, Surya Darmadi, divonis 16 tahun penjara, namun pemulihan kerugian negara berjalan sangat lamban, bahkan puluhan tahun sejak kasus BLBI merebak. Ketidakpercayaan publik sangat tinggi; Transparency International mencatat CPI Indonesia 2023 hanya 34/100, peringkat ke-115 dari 180 negara, menggambarkan optimisme antikorupsi yang masih suram. Mega korupsi bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga melanggar hak asasi manusia dan keadilan sosial. Seperti ditegaskan Wakil Ketua DPR, “korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga kejahatan terhadap HAM” karena ia merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Pola megakorupsi di Indonesia banyak berakar dari tradisi politik otoriter Orde Baru, ketika rezim Soeharto melegitimasi sistem “koncoisme” politik kroni yang memberi hak monopoli dan proyek negara kepada segelintir orang dekat kekuasaan. Skandal BLBI misalnya melibatkan tokoh-tokoh dalam lingkaran Soeharto dan kroni bisnisnya. Pelajaran dari Filipina menunjukkan bahaya hukum keras tanpa mekanisme transparan: kebijakan “perang narkoba” Presiden Rodrigo Duterte (2016–2022) menewaskan ribuan tersangka (~6.252 jiwa menurut pemerintah Filipina) tanpa proses peradilan yang adil, mengingatkan bahwa hukuman ekstrem mudah disalahgunakan dan melanggar hak hidup.
Karena itu, penerapan hukuman mati terhadap koruptor pun dipertanyakan efektivitasnya. Komnas HAM dan pakar menegaskan hukuman mati “bukan solusi yang tepat” karena tidak terbukti efektif mencegah korupsi serta melanggar prinsip hak asasi. Lebih jauh, hukuman mati berisiko menjadi alat berbahaya jika disalahgunakan oleh penguasa untuk “menghilangkan lawan politik”, tanpa menyelesaikan akar masalah. Solusi jangka panjang harus difokuskan pada perbaikan sistem pemerintahan: memperkuat checks and balances, reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, transparansi anggaran, serta pendidikan antikorupsi sejak dini. Misalnya, Menteri PANRB menekankan bahwa penerapan sistem meritokrasi berimbas signifikan pada pemberantasan korupsi. Reformasi struktural semacam ini lebih tepat mengakhiri tradisi korupsi elit daripada hukuman mati yang hanya jadi simbol balas dendam.
#SinarabantenMelihat:
Pemberantasan korupsi membutuhkan lebih dari sekadar penindakan. Perlu revolusi sistemik yang membongkar warisan oligarki Orde Baru, sekaligus membangun mekanisme checks and balances yang efektif. Tanpa itu, Indonesia hanya akan terus berputar dalam siklus korupsi yang sama.