Berita EkonomyBerita HarianBerita LainnyaBerita PilihanLingkungan AlamPilihan EditorSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : Ketahanan Pangan Papua Terancam: Saatnya Bertindak!

Penulis : Dea Yohanna Manik

Jumat 11 April 2025 | 12:56

Editor : SinaraBanten.


SINARABANTEN.COM – Ketahanan pangan kini menjelma menjadi salah satu isu paling mendesak yang dihadapi Indonesia, terutama saat kita menghadapi tekanan dari perubahan iklim, konversi lahan pertanian, serta distribusi pangan yang belum merata. Di Papua yang dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, justru menjadi daerah yang paling rentan mengalami krisis pangan. Inilah saat yang tepat bagi semua stakeholder untuk bergerak bersama sebelum kondisinya makin memburuk.

Ketahanan pangan, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang aman, bergizi, merata, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Sayangnya, Papua masih jauh dari standar tersebut. Selama lima tahun terakhir, provinsi ini terus berada di peringkat terbawah dalam Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Pada tahun 2020, IKP Papua tercatat 34,79 dan hanya naik menjadi 40,21 pada tahun 2024, tetap dalam kategori rentan. Sebagai perbandingan, provinsi Bali mencatat angka IKP sebesar 85,19.

Kondisi ini bukan hal baru. Pada November 2023, kelaparan di Distrik Amuma, Yahukimo, mengakibatkan 23 korban jiwa. Di awal 2024, wilayah Papua Tengah dilanda gagal panen akibat cuaca ekstrem. Walaupun bantuan pangan telah disalurkan dan beberapa proyek pengembangan pertanian dilakukan, seperti program satu juta hektare di Merauke, pendekatan yang hanya mengandalkan bantuan sementara belum mampu menjawab akar permasalahan. Papua menghadapi tantangan struktural yang kompleks.

Infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses distribusi pangan, serta angka kemiskinan yang tinggi membuat wilayah ini sangat rentan. Banyak daerah terpencil yang sulit dijangkau, sementara ketergantungan pada pasokan dari luar sangat tinggi. Ketika logistik terganggu, suplai pangan terputus. Kemampuan masyarakat untuk membeli pangan pun rendah, yang berkontribusi pada tingginya angka gizi buruk dan stunting.

Untuk mengatasi kerentanan ini, dibutuhkan langkah terencana dan menyeluruh. Pertama, pembangunan infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara harus menjadi prioritas agar distribusi pangan berjalan lancar. Kedua, pertanian lokal harus didorong agar masyarakat Papua bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Ini memerlukan pelatihan dan dukungan teknologi yang sesuai dengan kondisi geografis setempat. Ketiga, intervensi sosial seperti subsidi pangan, bantuan tunai, dan penguatan koperasi pangan harus diperluas agar daya beli masyarakat meningkat. Keempat, penting juga untuk memberikan edukasi mengenai gizi seimbang dan diversifikasi makanan, terutama bagi ibu dan anak, guna menekan angka stunting yang masih tinggi di Papua.

Saya meyakini bahwa ketahanan pangan di Papua tidak bisa hanya menjadi program sesaat. Diperlukan strategi nasional jangka panjang yang menyeluruh dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Kolaborasi antarsektor, kebijakan berbasis data, serta keberpihakan pada petani lokal dan pembangunan infrastruktur inklusif menjadi kunci utama. Tanpa itu, Papua akan terus tertinggal dalam hal ketahanan pangan. Krisis ini nyata, dan dampaknya sudah terasa. Namun dengan komitmen bersama, Papua dapat menjadi wilayah yang mandiri dalam hal pangan. Sudah saatnya kita bertindak—sebelum terlambat.

#SinaraBantenMelihat Di balik bukit-bukit terjal Papua, ada tangisan bayi stunting yang tak terdengar. Krisis ini ujian nyata bagi klaim persatuan kita sebagai bangsa.

© 2025 SINARABANTEN – Syiar Narasi Rakyat Banten

“Tak ada kemerdekaan sejati ketika anak Papua masih tidur dengan perut keroncongan.” 🍛🇮🇩

Baca Juga

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com