Opini : “Apa Kabar Reformasi? Antara Harapan yang Pudar dan Demokrasi yang Dikhianati”

Penulis : Audini Bilkis Arista
Senin 09 Juni 2025 | 17:15
Editor : SinaraBanten.
SinaraBanten.com — Dua puluh tujuh tahun setelah runtuhnya Orde Baru, pertanyaan paling mengganggu namun relevan adalah: Apa kabar reformasi? Reformasi 1998 lahir dari rahim penderitaan rakyat akibat krisis ekonomi, otoritarianisme, dan korupsi akut. Namun kini, cita-cita reformasi seakan dikhianati oleh aktor-aktor politik yang justru menjadi penikmat utamanya.
Salah satu tujuan utama reformasi adalah pemberantasan korupsi. Namun, data menunjukkan tren memburuk. Transparency International mencatat Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2023 stagnan di skor 34 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Skor ini sama dengan CPI Indonesia pada tahun 2022. Ini merupakan skor terburuk Indonesia sejak 2015. Pada 2024, CPI Indonesia berada di skor 37 dari 100 dan menempati peringkat 99 dari 180 negara. Yang lebih mencolok, pelemahan sistematis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat revisi UU KPK tahun 2019 telah menjadikan lembaga antirasuah itu taring tanpa gigi. Ironis, sebab KPK adalah simbol keberhasilan reformasi.
Reformasi juga menjanjikan supremasi hukum dan demokrasi. Namun, praktiknya, hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dalam kasus besar seperti korupsi tambang, pelaku kelas kakap sering luput dari jerat hukum, seperti dalam skandal tambang timah di Bangka Belitung yang menyeret jaringan elit politik dan bisnis, tetapi penindakan terasa lambat dan selektif. Di sisi lain, aktivis lingkungan dan mahasiswa kerap dikriminalisasi.
Secara politik, reformasi memang berhasil membuka ruang demokrasi. Namun, demokrasi itu kini dibajak oleh oligarki. Riset dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menunjukkan bahwa DPR dan partai politik kian tunduk pada kepentingan elite bisnis. Fenomena politik dinasti dan politik uang semakin masif. Pemilu tak lagi soal gagasan, tapi soal logistik. Dalam Pilpres 2024, misalnya, keterlibatan aparatur negara dalam mendukung salah satu calon bahkan sempat dikritik oleh akademisi, namun direspons dengan pembungkaman.
Kabar buruk lainnya adalah amandemen konstitusi secara terselubung. Mahkamah Konstitusi (MK), benteng terakhir keadilan konstitusional, tercoreng dengan kasus etik Ketua MK yang terlibat konflik kepentingan dalam putusan batas usia capres. Ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi pengkhianatan terhadap demokrasi prosedural. Reformasi yang dahulu menumbangkan kekuasaan absolut kini menyaksikan lahirnya kembali kekuasaan yang terpusat, dibalut legitimasi hukum yang dibengkokkan.
Pendidikan politik masyarakat juga mandek. Media massa yang dahulu menjadi suara kritis kini banyak yang menjadi corong penguasa karena ketergantungan iklan dan kepemilikan media oleh elit politik. Sementara itu, pendidikan kewargaan di sekolah lebih banyak menekankan hafalan Pancasila ketimbang penguatan daya kritis.
Maka, apa kabar reformasi? Jawabannya: reformasi sedang sekarat. Ia belum mati, tetapi sedang dipinggirkan, dijinakkan, bahkan dijarah oleh mereka yang semula jadi musuh reformasi. Namun, rakyat tidak boleh menyerah. Sejarah membuktikan, perubahan hanya lahir dari perlawanan. Masyarakat sipil, mahasiswa, jurnalis independen, dan aktivis lintas sektor harus bersatu memperjuangkan second wave of reform—gelombang baru reformasi yang tidak hanya menuntut keterbukaan, tetapi juga keadilan sosial dan politik yang sejati.
SinaraBantenMelihat : Reformasi seolah kehilangan arah. Cita-cita perubahan yang dulu diperjuangkan kini hanya tinggal slogan. Yang tersisa adalah semangat rakyat yang belum padam dan tekad untuk tidak membiarkan sejarah terulang sebagai tragedi yang sama.
Reformasi juga menjanjikan supremasi hukum dan demokrasi. Namun, praktiknya, hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah…