Opini : May Day 2025, Suara dari Mereka yang Tak Terlihat

Penulis : Indriyani Oktavia
Senin 09 Juni 2025 | 17:00
Editor : SinaraBanten.
SINARABANTEN.COM – May Day, atau Hari Buruh Internasional, bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah simbol perlawanan, solidaritas, dan harapan jutaan buruh di seluruh dunia yang masih bergulat dengan persoalan klasik: upah rendah, jam kerja panjang, dan perlindungan hukum yang minim. Di Bandung, peringatan May Day 2025 menjadi cermin kegelisahan dan perlawanan terhadap sistem yang dianggap semakin menindas, terutama dengan hadirnya revisi Undang-Undang TNI yang dinilai membuka celah represivitas terhadap gerakan sipil.
May Day tahun ini adalah kehadiran pekerja dari sektor yang kerap terlupakan, seperti tenaga kebersihan, pekerja industri kreatif, dan jurnalis. Para jurnalis yang tergabung dalam AJI Bandung menyuarakan ketimpangan yang mereka hadapi—upah di bawah UMK, sistem kerja freelance tanpa jaminan, hingga minimnya akses terhadap cuti dan perlindungan kerja. Ini menunjukkan bahwa problem perburuhan tidak lagi terbatas pada pabrik dan buruh kasar, tetapi telah menjalar ke sektor “profesional” yang seharusnya lebih terlindungi.
Solidaritas juga meluas hingga ke warga yang tengah berjuang mempertahankan ruang hidup mereka dari perampasan tanah. Hal ini memperkuat narasi bahwa perjuangan buruh tidak bisa dipisahkan dari perjuangan agraria dan hak atas ruang hidup yang adil.
May Day tetap relevan dan penting sebagai pengingat bahwa kemajuan ekonomi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan hak-hak pekerja. Pemerintah dan pelaku industri harus menjadikan buruh bukan sebagai beban, tetapi mitra pembangunan. Di sisi lain, buruh juga perlu meningkatkan daya saing dan keterampilan agar bisa bertahan di tengah perubahan dunia kerja yang semakin cepat. Keseimbangan antara keadilan sosial dan produktivitas ekonomi adalah kunci.
SinaraBantenMelihat :
May Day 2025 menjadi cermin betapa problem perburuhan semakin kompleks. Pemerintah dituntut tidak hanya menaikkan upah, tetapi juga menciptakan sistem perlindungan pekerja yang lebih inklusif, mencakup sektor informal dan profesi kreatif. Di sisi lain, dunia usaha harus mulai melihat buruh sebagai mitra strategis, bukan sekadar cost center.
Solusinya mungkin terletak pada tiga hal: (1) reformasi regulasi yang lebih protektif, (2) penguatan sistem pelatihan vokasional, dan (3) dialog segitiga antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Sebab, di era disruptif ini, keadilan sosial dan produktivitas ekonomi harus berjalan beriringan.
© 2025 SINARABANTEN – Suara Yang Terlupakan.