Opini : Banten Pasca Dinasti Atut: Akhir Sebuah Era atau Awal Kemunculan Oligarki Baru?

Penulis : Aisya Pardila Putri
Selasa 10 Juni 2025 | 14:03
Editor : SinaraBanten.
SinaraBanten– Selama hampir dua dekade, Banten menjadi simbol utama persoalan kronis demokrasi lokal di Indonesia: politik dinasti. Di bawah dominasi keluarga Ratu Atut Chosiyah, terbentuk struktur kekuasaan yang terpusat, tertutup, eksklusif, dan cenderung antidemokratis. Sejak awal 2000-an hingga pertengahan 2010-an, jabatan strategis—mulai gubernur, bupati, wali kota, hingga posisi penting di DPRD—diraih anggota keluarga Atut atau lingkaran terdekatnya.
Namun, Pemilu 2024 menjadi momentum pergeseran besar. Kekalahan telak Airin Rachmi Diany (adik ipar Atut) dalam Pilgub Banten, disusul tumbangnya Andika Hazrumy dan Ratu Ria Maryana di Kabupaten dan Kota Serang, menandai keruntuhan simbolis dinasti tersebut. Survei Indikator Politik Indonesia mencatat 70% masyarakat Banten menginginkan pengakhiran politik yang dikendalikan keluarga.
Euforia ini tak boleh membuat kita lengah. Sejarah demokrasi Indonesia kerap menunjukkan bahwa runtuhnya satu oligarki justru membuka ruang bagi oligarki baru yang lebih terselubung namun berbahaya. Fenomena ini bukan sekadar kekalahan tokoh terkenal. Dalam peta kontestasi terkini, muncul wajah-wajah baru yang—jika ditelusuri—memiliki koneksi erat dengan jaringan kekuasaan lama melalui bisnis, partai politik, atau hubungan personal nonformal. Mereka tidak menawarkan gagasan atau program transformatif, melainkan mengandalkan citra segar untuk memikat pemilih muda yang haus perubahan. Inilah yang disebut ilmuwan politik sebagai “oligarki terselubung” (subtle oligarchy): lebih berbahaya karena sulit dikenali publik.
Di Banten, fenomena ini terlihat dari kemunculan kepala daerah muda yang seolah independen, tetapi terungkap menerima dukungan logistik dan jaringan dari tokoh nasional bagian oligarki skala besar. Kita hanya mengganti papan nama, sedangkan sistemnya tetap rusak.
Demokrasi lokal yang sehat mensyaratkan partai politik sebagai ruang kaderisasi, pertukaran gagasan, dan seleksi kepemimpinan berbasis meritokrasi. Namun, realitas di Banten (dan banyak daerah) menunjukkan sebaliknya. Partai masih dikuasai elite yang menjadikannya “kendaraan” privat, bukan institusi publik. Calon kepala daerah atau legislatif dipilih berdasarkan kedekatan personal dan kesediaan “berinvestasi politik”, bukan kompetensi. Laporan LIPI (2023) memperkuat hal ini: >57% pencalonan di tingkat provinsi/kabupaten bergantung pada “restu elite”, bukan seleksi internal. Lebih dari 60% masyarakat Banten menyatakan tidak percaya integritas partai politik. Ini bukti partai kehilangan fungsi utamanya dan justru melanggengkan oligarki dalam format modern.
Kelemahan ini diperparah oleh kinerja buruk lembaga pengawas seperti Bawaslu dan KPK di daerah. Pada Pilkada 2020, Bawaslu Pandeglang mencatat 26 laporan pelanggaran administratif dan pidana, tetapi hanya empat yang tuntas. Banyak kasus politik uang, intimidasi pemilih, dan penyalahgunaan wewenang tanpa kejelasan hukum. Ketimpangan ini membuktikan institusi demokrasi kita masih kosmetik: ada secara struktural, tetapi tidak berfungsi substansial. Pelemahan institusional KPK beberapa tahun terakhir juga berdampak ke daerah, termasuk Banten—dulu ladang operasi tangkap tangan—kini memberi ruang bagi elite lokal bermain di zona abu-abu tanpa pengawasan memadai. Tanpa penguatan lembaga pengawas, demokratisasi hanya berjalan di fondasi rapuh.
Peningkatan partisipasi politik pemuda Banten patut diapresiasi, sayangnya tidak diiringi peningkatan literasi politik. Politik uang, retorika populis, dan manipulasi identitas masih menjadi strategi dominan. Banyak pemilih muda antusias tetapi kurang mampu membedakan kandidat bervisi jelas dan pencitraan semu. Di sinilah peran strategis lembaga pendidikan dan masyarakat sipil. Institusi pendidikan wajib menyuntikkan kurikulum literasi politik kuat: tidak hanya hafalan sistem pemerintahan, tetapi juga pelatihan etika kepemimpinan, praktik transparansi, dan simulasi demokrasi partisipatif. Tanpa pembentukan generasi kritis, politik Banten hanya akan menjadi sandiwara lima tahunan dengan naskah sama dan pemain berbeda.
Keruntuhan dinasti Atut membuka jendela harapan. Figur profesional, aktivis sipil, dan pemuda mulai bermunculan. Namun, harapan ini harus dibingkai dalam agenda reformasi besar:
-
Pembatasan ketat masa jabatan kepala daerah
-
Pelarangan pencalonan berdasarkan hubungan keluarga dalam satu wilayah
-
Transparansi pembiayaan kampanye
-
Reformasi sistem kepartaian berbasis seleksi terbuka dan akuntabel
Lebih dari itu, perlu penguatan media lokal independen dan masyarakat sipil yang berani mengawasi. Demokrasi tidak tumbuh tanpa kritik, dan perubahan tidak lahir dari elite, melainkan tekanan masyarakat sadar dan terorganisasi.
Masyarakat Banten kini di persimpangan sejarah. Keruntuhan dinasti Atut membuktikan rakyat bisa menentukan nasibnya. Namun, tanpa perubahan sistemik dan kontrol sosial kuat, kita hanya akan menyaksikan transisi dari satu oligarki ke oligarki lain dengan gaya dan jargon baru, tetapi orientasi kekuasaan sama. Demokrasi sejati bukan sekadar mengganti pemimpin, melainkan membangun sistem politik adil, transparan, dan inklusif. Banten berpeluang menjadi contoh provinsi yang lepas dari jerat politik keluarga dan korupsi sistemik. Ini hanya mungkin jika seluruh elemen bergerak bersama: partai direformasi, hukum ditegakkan, media bebas, dan warga terdidik secara politik. Tanpa itu, sejarah berulang dengan wajah lebih lihai dan luka sama.