Berita EkonomyBerita HarianBerita LainnyaBerita PilihanBerita PolitikKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangPilihan EditorProvinsi BantenSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : Kebebasan Sipil dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Penulis : Dwi Apriliyani

Selasa 10 Juni 2025 | 19:06

Editor : SinaraBanten.

SinaraBanten– Demokrasi Indonesia kini berada di titik genting. Meskipun pemilu rutin digelar, esensi demokrasi, yakni kebebasan sipil, terus tergerus. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2025, Indeks Demokrasi Indonesia berada di angka 6,44 dari 10, mengategorikan kita sebagai flawed democracy atau “demokrasi cacat”. Skor aspek kebebasan sipil bahkan hanya 5,29, mencerminkan kerentanan yang semakin nyata terhadap hak-hak warga negara dalam bersuara dan berkumpul.

Laporan Freedom House 2025 memperkuat kondisi tersebut. Indonesia dinilai hanya “Partly Free” dengan skor 56 dari 100, dengan rincian Political Rights (28/40) dan Civil Liberties (28/60). Masalah paling menonjol adalah pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, intimidasi terhadap jurnalis, pembatasan ruang digital, dan kriminalisasi melalui UU ITE. Tak hanya itu, Freedom on the Net 2024 mencatat Indonesia sebagai negara dengan kebebasan digital terbatas, dengan skor 59/100 dan status “Partly Free”.

Laporan Human Rights Watch 2025 menyebut semakin maraknya intervensi aparat terhadap kebebasan sipil, termasuk dalam kasus-kasus pembungkaman terhadap aktivis lingkungan, mahasiswa, dan netizen yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. KUHP baru juga dianggap membuka celah kriminalisasi terhadap ekspresi, terutama pasal-pasal karet tentang penghinaan terhadap pemerintah dan presiden.

Dalam konteks lokal, Banten sempat mencatat skor kebebasan sipil yang tinggi berdasarkan Survei Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) BPS 2020, yakni 87,30 dari 100. Artinya, secara administratif, kebebasan sipil seperti hak berkumpul dan menyampaikan pendapat diakui relatif baik. Namun, tidak adanya data terbaru pasca-2020 menjadi catatan tersendiri. Belum ada evaluasi lanjutan terhadap perubahan situasi, khususnya di era digital dan menjelang Pemilu 2024.

Masyarakat sipil di Banten, terutama kelompok mahasiswa dan aktivis, mulai merasakan efek tekanan kebebasan berpendapat secara digital. Diskusi kritis di media sosial, protes terhadap kebijakan daerah, atau kampanye isu sosial tak jarang berhadapan dengan pembatasan ruang gerak, baik secara langsung maupun melalui ancaman hukum. Bahkan, LBH Pers mencatat meningkatnya kasus intimidasi terhadap jurnalis dan pembuat konten lokal sejak 2022.

Kita perlu jujur menilai bahwa demokrasi bukan hanya tentang seberapa sering pemilu digelar. Demokrasi yang sehat lahir dari ruang sipil yang terbuka, media yang bebas, dan masyarakat yang tidak takut untuk bersuara. Ketika kebebasan sipil ditekan, partisipasi publik pun melemah. Warga menjadi pemilih pasif, bukan pelaku aktif demokrasi.

Sayangnya, di banyak daerah, termasuk Banten, kondisi itu mulai terlihat. Semakin sedikit diskusi publik yang kritis, semakin banyak warga yang apatis, dan semakin kuat kekuasaan tanpa kontrol.

Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah perlu segera mengevaluasi dan merevisi UU ITE serta pasal-pasal bermasalah dalam KUHP. Putusan Mahkamah Konstitusi April 2025 tentang pembatasan pasal pencemaran nama baik harus dijadikan landasan reformasi. Pemerintah daerah, termasuk Pemprov Banten, harus melindungi warganya yang aktif menyuarakan pendapat dan memperkuat posisi jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi.

Pendidikan politik kritis dan literasi media juga perlu digalakkan di sekolah, kampus, dan komunitas agar warga memiliki keberanian dan pengetahuan dalam mengawal kebijakan publik. Aktivitas daring harus dijamin aman dari sensor, pemantauan berlebihan, atau kriminalisasi. Ruang publik digital adalah arena baru demokrasi yang harus dijaga.

Masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh sejauh mana kita menjaga dan merawat kebebasan sipil. Di tengah gelombang kemunduran demokrasi global, Indonesia tidak boleh ikut hanyut. Kita harus tegas menyuarakan bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin lima tahunan, tetapi soal kebebasan warga untuk bicara, bersuara, dan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa.

Banten bisa menjadi contoh jika ruang sipil benar-benar dilindungi. Namun, tanpa tindakan nyata, kita hanya akan menjadi saksi demokrasi prosedural yang kehilangan makna.

#SinarabantenMelihat:
Kondisi demokrasi yang stagnan bahkan mundur ini tak bisa dibiarkan menjadi kebiasaan yang normal. Di tengah gempuran regulasi yang berpotensi membungkam suara rakyat, suara-suara dari daerah seperti Banten perlu diberi ruang dan perlindungan. Demokrasi akan lumpuh bila kebebasan sipil hanya menjadi slogan tanpa jaminan nyata. Masyarakat sipil, media, dan lembaga pendidikan harus jadi garda depan dalam menjaga ruang partisipasi. Demokrasi tak tumbuh dari diam, tetapi dari keberanian untuk bersuara.

© 2025 SINARABANTEN – Syiar Narasi Rakyat Banten

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com