Berita HarianBerita LainnyaBerita PilihanKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangProvinsi BantenSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : Suara Hati untuk Anak-anak Indonesia: Sebuah Refleksi Pekerja Anak di Hari Dunia Menentang Pekerja Anak

Penulis : Ranita Dwi Agustina

Kamis 12 Juni 2025 | 20:15

Editor : SinaraBanten.

SinaraBanten — Setiap tanggal 12 Juni, dunia mengheningkan cipta, merenungkan, dan menyerukan tekad untuk mengakhiri praktik keji: pekerja anak. Hari Dunia Menentang Pekerja Anak menjadi momentum untuk mengingatkan kita bahwa jutaan anak-anak di berbagai belahan dunia, alih-alih menikmati masa kanak-kanak yang semestinya, justru terpaksa mengorbankan pendidikan, kesehatan, dan impian mereka demi sesuap nasi. Ironisnya, di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan kemajuan, Indonesia, sebagai negara berkembang, masih menghadapi bayangan kelam ini.

Data berbicara: Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2023, meskipun terjadi penurunan signifikan dari sekitar 1,7 juta anak pada tahun 2022 menjadi sekitar 1,1 juta anak pada tahun 2023, nyatanya masih ada sekitar 1,1 juta anak berusia 10-17 tahun yang tergolong pekerja anak di Indonesia. Angka ini mungkin terasa abstrak, namun di baliknya tersimpan jutaan cerita pilu tentang anak-anak yang terpaksa berjualan koran di persimpangan jalan, memulung sampah di tengah terik matahari, mengais rezeki di pabrik-pabrik rumahan dengan upah tak layak, bahkan menjadi buruh migran tak berdokumen yang rentan eksploitasi.

Kasus-kasus nyata yang sering kali luput dari perhatian publik adalah bukti tak terbantahkan. Masih ingatkah kita dengan kasus eksploitasi anak di sektor perikanan yang sempat mencuat di beberapa daerah pesisir? Atau potret buram anak-anak di sektor pertanian yang harus membanting tulang di ladang tanpa perlindungan memadai? Tak jarang pula, kita temui anak-anak yang terjerumus dalam pekerjaan berbahaya seperti mengangkut beban berat, bersentuhan dengan bahan kimia berbahaya, atau bekerja di lingkungan yang tidak aman.

Penyebabnya kompleks, berakar pada kemiskinan struktural, ketidakmerataan akses pendidikan, minimnya kesadaran orang tua, hingga lemahnya penegakan hukum. Bagi keluarga miskin, anak-anak sering kali dianggap sebagai “tambahan tangan” untuk membantu menopang ekonomi. Sementara itu, sistem pendidikan yang belum merata dan kurangnya fasilitas pendidikan yang layak di daerah terpencil turut mendorong anak-anak untuk putus sekolah dan beralih ke dunia kerja.

Pemerintah Indonesia, melalui berbagai kementerian dan lembaga terkait, memang telah menginisiasi beragam program dan kebijakan untuk menghapuskan pekerja anak. Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Program Keluarga Harapan (PKH)Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), serta program pendidikan gratis juga menjadi upaya konkret untuk mengurangi beban ekonomi keluarga dan memastikan anak-anak tetap berada di bangku sekolah. Sebagai contoh, terdapat beberapa inisiatif sekolah gratis di beberapa daerah. Salah satunya inisiatif program sekolah gratis seperti yang dijanjikan dalam kampanye Pilkada 2024 lalu di Provinsi Banten oleh Gubernur Andra Soni-Dimyati Natakusumah, menunjukkan komitmen nyata dalam menyediakan akses pendidikan tanpa pungutan biaya, yang diharapkan dapat menarik anak-anak kembali ke sekolah dan menjauhkan mereka dari pekerjaan.

Namun, upaya tersebut rasanya belum cukup. Tantangan masih besar dan dibutuhkan sinergi yang lebih kuat antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan keluarga. Peran aktif masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus pekerja anak, meningkatkan pengawasan, dan memberikan dukungan kepada anak-anak yang rentan sangatlah krusial. Perusahaan harus memastikan rantai pasok mereka bebas dari pekerja anak dan mengedepankan prinsip-prinsip bisnis yang beretika.

Di Hari Dunia Menentang Pekerja Anak ini, mari kita bersama-sama memperbarui komitmen. Bukan hanya sekadar seremonial, melainkan sebuah panggilan hati untuk bertindak. Setiap anak berhak atas masa kanak-kanak yang utuh, yang dipenuhi dengan belajar, bermain, dan tumbuh kembang. Setiap anak berhak atas pendidikan yang layak dan kesempatan untuk mewujudkan impian mereka. Suara senyap di balik tawa mereka adalah jeritan hati yang harus kita dengar, dan bersama-sama, kita harus memastikan bahwa tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang terpaksa mengorbankan masa depan mereka di altar pekerjaan.

Mari wujudkan Indonesia yang benar-benar ramah anak, bebas dari pekerja anak!

#SinarabantenMelihat:
Pekerja anak bukan sekadar statistik, melainkan potret kegagalan kita bersama dalam memastikan keadilan sosial dan perlindungan generasi penerus. Di tengah janji-janji pembangunan, masih banyak anak yang tercegah untuk mengenyam pendidikan karena harus mencari nafkah. Ini bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga tanggung jawab moral kita sebagai masyarakat. Komitmen untuk menghapus pekerja anak harus dibarengi keberanian menindak tegas pelanggaran, memperluas jangkauan pendidikan, dan menjamin perlindungan sosial bagi keluarga miskin. Banten, dengan segala potensi dan semangat kemajuan, seharusnya mampu menjadi pelopor provinsi ramah anak, bukan justru menjadi saksi bisu dari hilangnya masa depan mereka.

 

@SINARABANTEN –Syiar Narasi Rakyat

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com