Kebijakan Uang Saku Magang: Antara Harapan Mahasiswa dan Realita Anggaran
SinaraBanten — Kebijakan pemerintah yang menetapkan uang saku sebesar Rp57 ribu per hari bagi mahasiswa S1 dan D4 yang magang di instansi pemerintah mulai tahun 2026 layak diapresiasi sebagai langkah maju dalam mendukung pendidikan praktis di Indonesia. Selama ini, kegiatan magang sering kali membebani mahasiswa secara finansial, terutama mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Dengan adanya alokasi dana ini, mahasiswa tak hanya memperoleh pengalaman kerja, tetapi juga merasa dihargai atas kontribusinya dalam lingkungan birokrasi negara.
Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada konsistensi implementasinya. Pernyataan bahwa pemberian uang saku bersifat kondisional dan tergantung pada ketersediaan anggaran masing-masing kementerian/lembaga menimbulkan kekhawatiran. Tanpa pengawasan dan komitmen yang kuat dari seluruh instansi, kebijakan ini rawan menjadi formalitas belaka—baik dalam pelaksanaannya yang tidak merata, maupun dalam potensi penyimpangan distribusi dana.
Pemerintah perlu menjamin transparansi serta kesetaraan pelaksanaan di berbagai wilayah dan instansi. Sosialisasi yang disebutkan oleh Kemenkeu harus diiringi dengan mekanisme evaluasi berkala agar tidak ada mahasiswa yang dirugikan karena instansinya mengklaim kekurangan anggaran. Bila tidak, akan tercipta ketimpangan baru di mana hanya mahasiswa yang magang di kementerian “mampu” yang bisa menikmati hak ini.
Ini adalah kebijakan progresif yang menunjukkan kepekaan negara terhadap tantangan nyata mahasiswa. Namun untuk benar-benar berdampak, kebijakan ini tidak cukup hanya ditandatangani di atas kertas. Ia harus diiringi dengan niat baik, anggaran yang memadai, dan sistem pelaporan yang akuntabel agar manfaatnya dirasakan merata oleh seluruh mahasiswa Indonesia yang tengah berjuang di dunia magang.
#SinarabantenMelihat:
Langkah pemerintah memberikan uang saku bagi mahasiswa magang adalah bentuk kepedulian yang patut diapresiasi. Namun, jangan sampai kebijakan ini berhenti pada seremonial semata. Realisasi yang setengah hati hanya akan melukai harapan mahasiswa yang sudah menggantungkan diri pada dukungan negara. Transparansi, keadilan antar instansi, serta pengawasan pelaksanaan menjadi kunci agar kebijakan ini benar-benar berpihak pada generasi muda yang sedang menapaki dunia kerja. Pemerintah sudah memulai langkah baik—tinggal memastikan agar langkah itu tidak goyah di tengah jalan.