Berita EkonomyBerita HarianBerita LainnyaBerita PilihanKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangPilihan EditorProvinsi BantenSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : Revolusi Meja Makan: Mengapa Konsumsi Bijak Bisa Menyelamatkan Pangan?

Penulis : Tubagus Rizqul Munjazi

Sabtu 12 April 2025 | 20:15

Editor : SinaraBanten.


SINARABANTEN.COM – Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia, memiliki peran dan arti penting bagi kehidupan suatu bangsa. Di Indonesia, Undang-Undang mengenai pangan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pangan dijelaskan dalam UU ini sebagai “segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”. Dalam menjaga ketersediaan pangan di Indonesia, perlu dilakukan upaya ketahanan pangan, baik dalam skala negara maupun perseorangan.

Krisis Kelangkaan Pangan vs Pemborosan Pangan

Mirisnya, saat di sisi dunia lain mengalami krisis kelangkaan pangan yang ekstrem disebabkan oleh kombinasi faktor global seperti konflik wilayah, perubahan iklim, permasalahan ekonomi serta harga pupuk yang tinggi di beberapa negara. Menurut laporan World Food Programme (WFP), pada tahun 2023 sekitar 282 juta jiwa atau 21,5 persen dari 59 negara mengalami krisis pangan akut yang tinggi dan memerlukan bantuan pangan serta mata pencaharian mendesak. Di sisi lain, berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar sepertiga makanan yang diproduksi sebagai konsumsi manusia di seluruh dunia terbuang sia-sia.

Di Indonesia, menurut data yang dilansir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024, total timbunan sampah mencapai 32.858.304,80 ton dengan sampah sisa makanan memiliki persentase terbesar 39,43% dari jenis sampah lainnya. Menurut data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembuangan sampah makanan mencapai 23 juta hingga 48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 dengan taksiran kerugian ekonomi sebesar Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun. Laporan Think Eat Save dari United Nations pada Food Waste Report 2024 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama dengan sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara, dengan total sampah makanan 14,73 juta ton per tahun. Ironisnya, di saat yang sama, 24 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan (FAO, 2023).

Makanan yang terbuang bukan hanya berupa sisa makanan, tetapi juga karena kebiasaan konsumsi yang tidak tepat dan terencana, seperti sering membeli lebih dari yang dibutuhkan, menyisakan makanan di piring, atau membiarkan makanan sampai kadaluarsa. Oleh karena itu, jika pemborosan bisa kita kurangi setidaknya setengahnya saja, maka ada jutaan manusia yang terselamatkan dari kelaparan.

Ketergantungan Impor dan Ketahanan Pangan yang Rapuh

Selain pemborosan, ancaman bagi ketahanan pangan di Indonesia adalah ketergantungan impor pangan yang berlebihan dari luar negeri. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2024 nilai impor Indonesia mencapai US$233,659,5 juta. Ketergantungan impor pangan terutama pada bahan pangan pokok seperti beras, sayur-mayur, daging, dan lain sebagainya, menunjukkan ketahanan pangan yang rapuh.

Data impor beras menurut BPS periode Januari-Februari mencapai 95,94 ribu ton, meskipun lebih turun dari periode yang sama pada tahun 2023 sebesar 880,81 ribu ton. Impor daging sejenis lembu (sapi dan kerbau) tahun 2024 sebanyak 183,18 ribu ton. Ketergantungan pangan impor masih tinggi. Misalnya, Indonesia mengimpor 9,45 juta metrik ton gandum pada periode Januari-September 2024, padahal tanaman alternatif seperti sorgum dan umbi-umbian bisa menjadi alternatif yang lebih lestari.

Ketergantungan pangan ini membuat Indonesia rentan terhadap krisis global. Saat terjadi perang, gangguan iklim, atau pandemi, harga pangan naik sehingga membuat akses masyarakat terhadap bahan pokok menjadi semakin sulit. Oleh karena itu, jika pola konsumsi tidak berubah, maka kita akan semakin bergantung pada impor pangan negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Konsumsi Bijak: Langkah Kecil Berdampak Besar

Untuk mengubah kebiasaan makan mungkin terdengar sederhana, namun memiliki dampak yang sangat besar. Konsumsi bijak berarti memilih makanan secara sadar, tidak berlebihan, serta berpihak pada keberlanjutan pangan. Ada beberapa langkah praktis yang dapat kita terapkan dalam konsumsi bijak, yaitu:

  1. Belanja sesuai kebutuhan
    Kurangi belanja berlebihan dengan memprioritaskan bahan pangan lokal. Hal ini dapat menjaga agar konsumsi makanan lebih terkendali dan mendukung ketahanan pangan lokal.

  2. Kurangi food waste
    Simpan makanan dengan baik, manfaatkan sisa makanan, dan atur porsi makan agar tidak terbuang sia-sia.

  3. Dukung petani lokal
    Membeli produk pangan lokal dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor dan mendukung ekonomi petani lokal.

  4. Variasi sumber karbohidrat
    Konsumsi selain bahan pokok beras atau gandum seperti singkong, jagung, sagu, atau umbi-umbian yang lebih tahan terhadap perubahan iklim ekstrem.

  5. Edukasi dan ajak orang lain
    Lakukan kampanye konsumsi bijak kepada orang lain agar perubahan ini dapat efektif dilakukan bersama-sama.

 

#SinaraBantenMelihat Ketahanan pangan bukan hanya urusan pemerintah. Setiap gigitan makanan yang kita buang, adalah hak orang lain yang kelaparan. Mulai dari piring kita sendiri, Indonesia bisa keluar dari jerat krisis pangan.

Bagikan aksi anti-food waste Anda dengan tagar #PanganTanpaBuang.

© 2025 SINARABANTEN – Suara Nyata untuk Banten dan Indonesia

Baca Juga

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com