Berita Pilihan

Opini : Pertanian Vertikal: Jawaban Atas Mahalnya Harga Tanah untuk Ketahanan Pangan tingkat Rumah Tangga

Penulis : Danish Muhammad Mumtaz.

Selasa 08 April 2025 | 21:17

Editor : SinaraBanten.


SERANG, SINARABANTEN.COM. Dalam dua dekade terakhir, harga tanah di Jakarta mengalami kenaikan eksponensial. Data Cushman & Wakefield dalam laporan Marketbeat Greater Jakarta Landed Residential H2 2024 mengungkapkan, pada kuartal IV 2024, harga rata-rata tanah di ibu kota mencapai Rp15.968.989/m², naik 1,3% dari Rp15.767.804/m² di periode yang sama tahun 2023. Lonjakan ini bukan fenomena baru. Sejak 2003, harga tanah Jakarta telah melambung 3.094% (dari Rp500 ribu/m² menjadi Rp15,9 juta/m²), menjadikan kepemilikan lahan horizontal hampir mustahil bagi rumah tangga biasa.

Di Kota Serang, Banten, krisis serupa juga terjadi meski dalam skala berbeda. Lahan perumahan di kawasan strategis seperti Jalan Jenderal Sudirman dan sekitarnya dibanderol Rp5-7 juta/m². Sementara itu, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan baku sawah (LBS) di Banten menyusut dari 204.334 hektare pada tahun 2019 menjadi 194.465,39 hektare pada tahun 2023. Artinya, terjadi penyusutan hampir 10.000 hektare atau lebih tepatnya 9.869,61 hektare dalam 4 tahun terakhir. Dengan menyempitnya lahan dan tingginya harga jual tanah dapat menjadi ancaman krisis pangan. Vertical farming dapat menjadi jawaban atas krisis pangan ini karena teknologi ini memungkinkan rumah tangga perkotaan memproduksi sayuran di lahan terbatas, mulai dari rak hidroponik di dapur hingga mini kebun vertikal di balkon rumah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor dan fluktuasi harga pasar.

Vertical farming, sistem pertanian bertingkat dengan memanfaatkan teknologi hidroponik atau aeroponik, menjadi jawaban atas keterbatasan lahan di perkotaan. Sebagai contoh, Yogyakarta, di mana lahan pertanian menyusut 96% dalam satu dekade (dari 318,5 hektare pada 2005 menjadi 55 hektare pada 2015), konsep ini diimplementasikan secara masif melalui proyek Integrated Kampong Vertical Living & Urban Vertical Farming di Kelurahan Pandeyan, Umbulharjo. Kawasan seluas 18.000 m² ini menggabungkan hunian vertikal dengan kebun hidroponik bertingkat yang memproduksi sayuran seperti kangkung dan pakcoy. Hasilnya, 70% kebutuhan pangan warga terpenuhi secara mandiri. Biaya instalasinya pun terjangkau: Rp1-2 juta per unit untuk skala rumah tangga, atau hanya 0,2% dari harga tanah kosong di Yogyakarta yang mencapai Rp5-7 juta/m².

Pemerintah Kota Serang perlu segera mengadopsi vertical farming sebagai strategi utama ketahanan pangan dan mitigasi krisis lahan. Dengan harga tanah di kawasan strategis seperti Jenderal Sudirman yang melonjak 150% dalam 10 tahun (dari Rp2 juta/m² pada 2013 menjadi Rp5 juta/m² pada 2023), program terintegrasi kampung vertikal dan pertanian hidroponik bertingkat bisa menjadi solusi. Misalnya, dengan mengalokasikan Rp10 miliar dari APBD untuk subsidi instalasi hidroponik skala rumah tangga, 5.000 keluarga miskin perkotaan dapat memproduksi 60% kebutuhan sayuran mereka sendiri. Proyek percontohan di Kelurahan Cipocok Jaya, di mana 200 rumah telah menghemat Rp400 ribu/bulan dari panen mandiri, bisa direplikasi ke seluruh kota. Jika semua rumah tangga di Serang menerapkannya, dalam 5 tahun kota ini bisa mengurangi ketergantungan impor pangan hingga 30% sekaligus menghemat Rp45 miliar/tahun dari anggaran belanja sayuran warga.

 

#SinarabantenMelihat Di balik gedung-gedung tinggi dan perumahan mewah, ada cerita tentang ruang hijau yang terus terpinggirkan. Vertical farming bukan sekadar solusi teknis, tapi bukti bahwa krisis bisa melahirkan kreativitas.

© 2024 SINARABANTEN – Syiar Narasi Rakyat Banten.

Penulis : Danish Muhammad Mumtaz.

Editor : SinaraBanten.

Baca Juga

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com