Opini : Ketahanan Pangan Indonesia: Menjawab Tantangan Tata Kelola Bukan Sekadar Produksi

Penulis : Puan Nayla Ramdhani.
Kamis 10 April 2025 | 14:31
Editor : SinaraBanten.
SINARABANTEN.COM – Ketahanan pangan merupakan isu strategis dan multidimensi yang senantiasa hadir dalam wacana kebijakan publik Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, pemerintah telah mengklaim berbagai capaian, salah satunya ditunjukkan melalui peningkatan Indeks Ketahanan Pangan Nasional dari angka 87,9 pada tahun 2019 menjadi 94,1 pada tahun 2023 menurut data Badan Pangan Nasional. Angka ini di atas kertas menunjukkan kemajuan. Namun sebagaimana sering terjadi dalam kebijakan publik, data makro tidak selalu berbanding lurus dengan kondisi mikro di lapangan.
Ketahanan pangan sejatinya bukan hanya soal ketersediaan makanan dalam jumlah cukup, tetapi mencakup tiga dimensi utama yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan stabilitas. Banyak daerah di Indonesia, terutama kawasan timur dan wilayah tertinggal, masih mengalami kesulitan dalam mengakses pangan. Harga bahan pokok sering kali melonjak terutama menjelang hari besar keagamaan atau akibat gangguan distribusi. Di sisi lain, ketergantungan kita terhadap impor pangan seperti gandum, bawang putih, dan bahkan kedelai belum juga dapat dikendalikan secara optimal.
Masalah utama yang sering luput dari pembahasan publik adalah lemahnya tata kelola kebijakan pangan. Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Inisiatif ini secara konseptual adalah langkah progresif. Diversifikasi pangan lokal seperti sagu, jagung, singkong, dan sorgum dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Namun, kebijakan ini menghadapi tantangan struktural dalam pelaksanaannya.
Pertama, sinkronisasi lintas sektor dan antarkelompok pemerintahan belum berjalan efektif. Pemerintah pusat sering mengeluarkan kebijakan tanpa didahului pemetaan potensi dan kapasitas daerah secara detail. Akibatnya, daerah kesulitan menyesuaikan program dengan realitas lokal. Kedua, birokrasi yang berbelit dan tidak responsif memperlambat pelaksanaan kebijakan. Misalnya, proses penyaluran anggaran hingga pelatihan petani lokal sering kali tertunda sehingga program tidak berjalan optimal. Ketiga, minimnya pelibatan masyarakat dalam tahap perumusan dan evaluasi membuat program kehilangan konteks sosial dan budaya lokal.
Di saat bersamaan, pemerintah juga menggulirkan program makanan bergizi gratis bagi 90 juta anak dan ibu hamil dengan anggaran sebesar Rp71 triliun per tahun. Ini adalah langkah ambisius yang menunjukkan keberpihakan terhadap kelompok rentan terutama dalam upaya menekan angka malnutrisi dan stunting yang masih tinggi di Indonesia. Namun, kita patut mempertanyakan aspek keberlanjutan dan efektivitas kebijakan ini.
Pertanyaannya sederhana namun mendasar, yaitu dari mana sumber pendanaan jangka panjang akan diambil. Apakah program ini telah dikalkulasi dengan matang dalam kerangka fiskal negara atau hanya menjadi bagian dari agenda populis jangka pendek. Tanpa sistem pengawasan dan audit yang ketat, program sebesar ini berisiko tinggi menjadi ladang pemborosan atau bahkan korupsi. Kita telah belajar dari banyak program serupa sebelumnya. Anggaran besar tidak menjamin hasil besar jika tata kelolanya lemah.
Dalam konteks ini, perspektif Administrasi Publik menjadi sangat relevan. Ketahanan pangan bukanlah semata urusan pertanian, tetapi tentang bagaimana negara merancang kebijakan yang efektif, efisien, dan berkeadilan. Dibutuhkan pendekatan menyeluruh dari seluruh sektor dan komponen masyarakat, di mana semua aktor pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan akademisi berkolaborasi dalam membangun sistem pangan yang tangguh.
Langkah-langkah konkret yang dapat diambil antara lain memperkuat sistem informasi pangan berbasis data real-time di daerah, membangun rantai distribusi yang efisien dan adil, memperkuat regulasi tata niaga pangan agar tidak dikuasai kartel, serta meningkatkan kapasitas petani melalui pelatihan dan akses teknologi. Selain itu, partisipasi masyarakat harus diperluas melalui forum-forum deliberatif yang memungkinkan suara petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil pangan turut menentukan arah kebijakan.
Akhirnya, perlu disadari bahwa ketahanan pangan tidak bisa diselesaikan hanya dengan menumpuk pasokan. Ia adalah refleksi dari keberfungsian negara dalam menjamin hak dasar rakyatnya. Maka dari itu, indikator keberhasilan ketahanan pangan bukan hanya terlihat dari angka indeks atau jumlah panen, tetapi dari apakah setiap warga, terutama yang termiskin, mampu membeli makanan bergizi secara berkelanjutan.
Sebagai mahasiswa Administrasi Publik, saya percaya bahwa masa depan ketahanan pangan Indonesia akan sangat bergantung pada kualitas kebijakan dan integritas pelaksanaannya. Jika tata kelola diperbaiki, partisipasi diperluas, dan pengawasan diperketat, maka ketahanan pangan bukan lagi mimpi tetapi menjadi capaian nyata yang dirasakan setiap rumah tangga di Indonesia.
#SinarabantenMelihat Ketahanan pangan bukan sekadar urusan surplus-defisit, tapi tentang apakah nelayan di Pantai Anyer masih bisa makan tiga kali sehari saat musim paceklik, atau apakah petani bawang di Pandeglang terjebak utang karena permainan tengkulak.
© 2025 SINARABANTEN – Syiar Narasi Rakyat Banten