Berita EkonomyBerita HarianBerita PilihanKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangPilihan EditorProvinsi BantenSeputar BantenSeputar OlahragaSorotan Utama

Opini : Ketahanan Pangan di Ujung Tanduk: Saatnya Indonesia Mandiri atau Terus Bergantung?

Penulis : Husnawati

Sabtu 12 April 2025 | 16:18

Editor : SinaraBanten.


SINARABANTEN.COM – Ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras atau jagung di pasar. Ia adalah fondasi yang menopang stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi persoalan pelik dalam urusan ini. Dari menyusutnya lahan pertanian, dampak perubahan iklim, hingga ketergantungan terhadap impor, semuanya menjadi bukti bahwa kita masih jauh dari kata mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Berdasarkan data BPS tahun 2023, luas lahan pertanian nasional hanya tersisa sekitar 10,21 juta hektare, terus menyusut dari tahun ke tahun. Padahal, lahan adalah faktor kunci dalam menjaga ketahanan pangan. Ketika lahan pertanian terus tergerus oleh pembangunan dan alih fungsi, produksi dalam negeri pun ikut menurun. Akibatnya, kita semakin bergantung pada impor bahan pangan dari luar negeri.

Tentu saja, ketergantungan ini bukan tanpa risiko. Harga pangan global tidak menentu, dan kebijakan ekspor negara lain bisa berubah sewaktu-waktu. Jika terus dibiarkan, kedaulatan pangan kita akan makin rapuh, dan rakyatlah yang akan merasakan dampaknya dari harga kebutuhan pokok yang melonjak hingga krisis distribusi di tengah bencana.

Masalahnya bukan hanya soal ketersediaan, tapi juga soal kualitas dan aksesibilitas. Stunting masih menjadi pekerjaan rumah besar. Meski angka stunting di Indonesia menurun dari 24,4% pada 2021 menjadi 21,5% di tahun 2023 (data dari Indonesia Baik), ini tetap merupakan angka yang tinggi. Stunting bukan hanya soal tubuh anak yang pendek, tapi juga menyangkut perkembangan kognitif yang terganggu dan menurunnya potensi produktivitas generasi mendatang. Artinya, persoalan pangan juga sangat erat kaitannya dengan masa depan bangsa.

Di sisi lain, kita juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa perubahan iklim memperburuk keadaan. Cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan makin sering terjadi, merusak hasil panen dan membuat petani berada dalam ketidakpastian. Kalau kita tidak segera beradaptasi, misalnya dengan mengembangkan teknologi pertanian tahan iklim dan memperkuat sistem irigasi, kita akan semakin rentan terhadap krisis pangan.

Sayangnya, sebagian besar petani Indonesia masih bergantung pada metode tradisional. Minimnya investasi di sektor pertanian menjadi salah satu penyebabnya. Tanpa dukungan teknologi dan pelatihan yang memadai, hasil panen pun tak bisa maksimal. Padahal, dengan modernisasi seperti penggunaan benih unggul, sistem irigasi pintar, hingga mekanisasi pertanian, produktivitas bisa jauh lebih tinggi. Pemerintah memang sudah mengambil beberapa langkah strategis. Misalnya, ekspansi lahan pertanian di wilayah-wilayah seperti Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah. Tapi langkah ini harus dibarengi dengan perlindungan lahan produktif dari alih fungsi. Diversifikasi pangan juga menjadi kunci penting. Kita tak bisa terus bergantung pada beras saja. Pangan lokal seperti jagung, sorgum, dan sagu harus mendapat tempat yang layak dalam sistem pangan nasional.

Program makanan gratis untuk anak-anak dan ibu hamil juga patut diapresiasi. Ini adalah solusi cepat untuk mengatasi malnutrisi. Tapi agar dampaknya berkelanjutan, program ini juga harus disertai edukasi gizi dan penguatan sistem pangan secara keseluruhan. Kita perlu membentuk pola konsumsi sehat yang bisa diterapkan oleh masyarakat dari segala lapisan. Selain itu, penguatan cadangan pangan nasional juga sangat penting. Ini seperti tabungan darurat yang bisa digunakan saat krisis. Tapi pengelolaannya harus efisien dan transparan, agar benar-benar sampai ke masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil.

Terakhir, kemandirian pangan bukan pekerjaan satu pihak saja. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bergandengan tangan. Pemerintah harus konsisten dengan kebijakan pro-pertanian. Swasta bisa mendorong inovasi lewat riset dan investasi. Masyarakat juga punya peran: dari memanfaatkan lahan pekarangan sampai memilih konsumsi pangan lokal. Tantangan memang besar. Tapi kalau kita bersatu, konsisten, dan punya visi jangka panjang, Indonesia bukan cuma bisa bertahan tapi juga bisa berdiri tegak sebagai negara yang mandiri secara pangan.

#SinaraBantenMelihat Kemandirian pangan bukan tugas pemerintah sajaSwasta harus berinvestasi di riset pertanian, masyarakat bisa mulai dengan urban farming, dan petani perlu didukung teknologi. Jika tidak, Indonesia akan terus bergantung pada impor, dan rakyat kecil yang paling menderita.

Bagikan opini Anda dengan tagar #IndonesiaMandiriPangan.

© 2025 SINARABANTEN – Syiar Narasi Rakyat Banten

Baca Juga

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com