Berita HarianBerita LainnyaBerita PilihanKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangPilihan EditorProvinsi BantenSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : DI BALIK FOOD ESTATE: MIMPI BESAR ATAU ANCAMAN TERSEMBUNYI?

Penulis : Nurhasna Ayunda Safitri

Minggu 13 April 2025 | 11:39

Editor : SinaraBanten.


SINARABANTEN.COM – Ketahanan pangan adalah isu penting yang terus jadi perhatian pemerintah. Dengan populasi yang terus bertambah, kebutuhan pangan meningkat, sehingga ketersediaan makanan yang cukup dan berkelanjutan menjadi tantangan besar. Salah satu strategi yang diambil adalah program Food Estate, yang bertujuan mengembangkan kawasan pertanian berskala besar dan terintegrasi. Program ini menjanjikan peningkatan produksi nasional, pengurangan impor, dan pembukaan lapangan kerja. Namun, benarkah program ini merupakan solusi yang tepat? Atau justru menghadirkan ancaman baru?

Secara ekonomi, Food Estate diharapkan mampu meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor. Proyek ini dirancang di berbagai wilayah seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua. Namun, pembangunan kawasan pertanian besar membutuhkan investasi besar, infrastruktur, dan teknologi modern. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa proyek seperti MIFEE dan lahan gambut di Kalimantan gagal karena buruknya perencanaan dan minimnya keterlibatan masyarakat lokal.

Selain itu, distribusi dan logistik pangan di Indonesia masih menjadi masalah. Jika pasar belum siap, hasil produksi tidak akan terserap optimal. Risiko pun akan ditanggung oleh petani atau masyarakat kecil jika tidak ada jaminan pasar yang jelas.

Salah satu kekhawatiran besar dari Food Estate adalah potensi konflik lahan dengan masyarakat lokal. Banyak tanah adat yang telah dikelola secara turun-temurun diambil alih atas nama “kepentingan nasional” tanpa kompensasi yang layak. Bahkan, masyarakat yang mempertahankan hak atas tanah bisa dikriminalisasi.

Selain itu, cara bertani tradisional yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi sering kali tidak cocok dengan sistem modern yang diterapkan dalam Food Estate. Hal ini membuat masyarakat lokal terpinggirkan. Akhirnya, bukan petani kecil yang diuntungkan, melainkan korporasi besar dengan modal dan akses teknologi.

Dampak lingkungan dari Food Estate juga tidak bisa diabaikan. Pembukaan lahan besar-besaran di hutan primer dan lahan gambut meningkatkan risiko deforestasi. Padahal, lahan gambut penting untuk menyerap karbon dan menjaga ekosistem. Pengeringan lahan gambut bisa menyebabkan kebakaran dan memperparah perubahan iklim.

Selain itu, konversi hutan menjadi lahan pertanian monokultur mengancam keanekaragaman hayati dan menghilangkan sumber daya alam yang dibutuhkan masyarakat lokal untuk bertahan hidup. Hal ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungan dan mengurangi emisi karbon.

Dengan berbagai tantangan yang ada, Food Estate perlu dievaluasi secara menyeluruh. Pemerintah harus memastikan perlindungan terhadap hak masyarakat adat, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi lokal, serta melibatkan masyarakat sebagai pemilik dan pengelola lahan, bukan hanya sebagai tenaga kerja.

Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, Food Estate berpotensi menjadi proyek gagal yang mengulang kesalahan masa lalu. Maka, penting untuk bertanya: apakah kita benar-benar membangun ketahanan pangan, atau menciptakan ancaman baru bagi masyarakat dan lingkungan?

#SinaraBantenMelihat

Food Estate berpotensi menjadi:
✔ Proyek mercusuar yang menghabiskan anggaran
✔ Bencana ekologis jangka panjang
✔ Pemicu konflik agraria baru

Pertanyaan mendasar:
Apakah kita sedang membangun ketahanan pangan atau menciptakan krisis multidimensi?

Bagikan pandangan Anda dengan #FoodEstateUntukSiapa

© 2025 SINARABANTEN – Berani Mengkritisi untuk Indonesia Lebih Baik

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com