Berita EkonomyBerita HarianBerita LainnyaBerita PilihanKabupaten TanggerangKota CilegonKota SerangKota TanggerangPilihan EditorProvinsi BantenSeputar BantenSorotan UtamaTrending

Opini : Dana Desa Meningkat, Tapi Apakah Akses Pangan di Pandeglang Ikut Terjamin?

Penulis : Linda Agustin

Jumat 11 April 2025 | 21:35

Editor : SinaraBanten.


PANDEGLANG, SINARABANTEN.COM – Pemerintah terus meningkatkan anggaran Dana Desa setiap tahun dengan harapan dapat mempercepat pembangunan di wilayah pedesaan. Berdasarkan Rincian Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN Tahun Anggaran 2025, alokasi untuk Dana Desa mencapai Rp71 triliun, yang akan disalurkan ke 75.259 desa di 434 kabupaten/kota. Artinya, setiap desa rata-rata menerima sekitar Rp934,41 juta. Salah satu prioritas utama yang ditetapkan pemerintah pusat melalui anggaran Dana Desa adalah sektor pangan. Berdasarkan Permendes Nomor 2 Tahun 2024, desa diwajibkan mengalokasikan 20% dari total anggaran Dana Desa untuk ketahanan pangan. Namun, di tengah besarnya anggaran yang digelontorkan, muncul pertanyaan penting: apakah peningkatan anggaran Dana Desa benar-benar berdampak pada akses pangan masyarakat?

Secara nasional, Dana Desa memang menjadi instrumen penting dalam mendorong pembangunan di wilayah pedesaan. Namun, efektivitas penggunaan dananya ditentukan oleh kondisi masing-masing daerah. Kabupaten Pandeglang sebagai salah satu wilayah dengan jumlah desa terbanyak di Provinsi Banten, menjadi contoh yang relevan untuk melihat lebih dekat bagaimana anggaran Dana Desa berdampak pada akses pangan masyarakat. Sebagai daerah yang masih memiliki tantangan besar dalam hal infrastruktur dasar dan distribusi hasil pertanian, Pandeglang memberikan cerminan nyata tentang tantangan pembangunan desa di tengah gelontoran anggaran yang terus meningkat.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun anggaran Dana Desa terus meningkat, tantangan dalam pembangunan desa masih cukup kompleks. Skala prioritas lain selain ketahanan pangan adalah pengembangan infrastruktur jalan seperti jalan desa, irigasi, sampai akses terhadap listrik dan air bersih. Infrastruktur yang memadai seharusnya juga mampu menjamin konektivitas antarkawasan, mempermudah distribusi hasil pertanian, serta mendukung aktivitas ekonomi masyarakat desa. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa banyak desa masih menghadapi keterbatasan infrastruktur, terutama dalam aspek transportasi dan logistik. Di desa-desa yang saya kunjungi di wilayah Banten khususnya Kabupaten Pandeglang, misalnya di Desa Kadubale, Desa Banjarsari, Desa Awilega, Desa Pasir Karag, Desa Koroncong, dan Desa Paniis, pemandangan jalan sempit dan berlubang merupakan hal yang biasa. Bahkan di beberapa desa di wilayah Kabupaten Pandeglang bagian selatan seperti misalnya Desa Tunjungan, Desa Cikiruh, Desa Curug, dan Desa Parung Kokosan, infrastruktur jalan dapat dikatakan sangat jauh dari kata layak. Berdasarkan data, pada tahun 2022, hanya sekitar 43,34% jalan di Indonesia yang berada dalam kondisi baik, yang berarti lebih dari setengahnya masih dalam kondisi rusak atau tidak layak sehingga menjadi hambatan utama bagi mobilitas masyarakat dan distribusi barang. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga dinilai lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan, yang menyebabkan kesenjangan antara desa dan kota dalam akses serta kualitas infrastruktur semakin terlihat.

Kondisi infrastruktur yang masih tertinggal berpengaruh langsung terhadap rantai distribusi pangan, yang pada akhirnya menyebabkan harga komoditas pangan di pedesaan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan, bahkan dalam satu provinsi. Sebagai sentra produksi pertanian, hal ini jelas bertentangan. Desa seharusnya memiliki peluang untuk mendapatkan harga komoditas pangan yang jauh lebih terjangkau dibandingkan wilayah perkotaan. Misalnya, berdasarkan data Badan Pangan Nasional yang dirilis melalui laman Databoks April 2024, menunjukkan adanya disparitas antarkawasan. Kabupaten Pandeglang tercatat sebagai salah satu daerah dengan harga beras premium tertinggi, mencapai Rp16.000 per kilogram, setara dengan Kota Serang dan Tangerang Selatan, bahkan lebih tinggi harganya dibandingkan Kabupaten Tangerang, yakni Rp14.000 per kilogram dan Kota Tangerang, Rp15.000 per kilogram yang notabene adalah wilayah perkotaan. Padahal, Pandeglang dikenal sebagai salah satu daerah sentra pertanian di Banten.

Selain beras, ketidakstabilan harga pangan juga terjadi pada komoditas lain, di mana tren fluktuatif yang cukup ekstrem juga terjadi pada cabai rawit merah. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, pada Juni 2024, harga cabai rawit merah di Banten masih berada di kisaran tinggi, yakni antara Rp34.640 hingga Rp46.000 per kilogram. Kabupaten Pandeglang memang tercatat sebagai salah satu daerah dengan harga cabai terendah di provinsi, yakni Rp34.640 per kilogram, namun harga ini sebelumnya sempat melonjak signifikan hingga menembus Rp86.310 per kilogram. Hal tersebut membuktikan bahwa akses terhadap pangan belum benar-benar stabil bahkan di wilayah pedesaan.

Lebih jauh, akses pangan yang tidak merata ini juga tercermin dari tingginya tingkat prevalensi stunting di Kabupaten Pandeglang. Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang mencatat pada tahun 2023, tingkat stunting masih berada di angka 28,6%, jauh di atas target yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni 14%. Selain itu, berdasarkan data yang dirilis melalui Pandeglang Open Data pada tahun 2023, terdapat sekitar 69.902 keluarga berisiko stunting. Hal ini menjadi pengingat bahwa pangan bukan hanya sekadar persoalan ketersediaan, tetapi juga keterjangkauan, kualitas gizi, dan kesinambungan dalam pendistribusiannya. Stunting dalam hal ini bukan hanya soal tubuh pendek, melainkan soal masa depan generasi yang terancam akibat akses terhadap pangan bergizi yang tidak merata.

Melihat realitas yang ada, peningkatan Dana Desa belum dapat dijadikan jaminan terhadap akses pangan masyarakat pedesaan menjadi lebih baik. Alih-alih mendapatkan harga pangan yang lebih murah sebagai sentra produksi, desa justru menghadapi harga pangan lebih tinggi akibat biaya distribusi yang tinggi. Masalahnya bukan pada jumlah, melainkan arah dan efektivitas penggunaan dana. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka anggaran triliunan rupiah yang dikucurkan setiap tahunnya hanya akan menjadi angka di atas kertas tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat desa.

Dua puluh persen dari anggaran Dana Desa yang dialokasikan untuk ketahanan pangan seharusnya dapat dikelola dengan lebih terarah. Dana tersebut tidak bisa sekadar digunakan untuk program bantuan jangka pendek, tetapi harus difokuskan pada pembangunan infrastruktur pertanian, seperti pengadaan gudang penyimpanan pangan untuk mengurangi kerugian pascapanen, penguatan koperasi petani agar petani bisa menjual hasil panennya secara kolektif dan memperoleh harga yang lebih baik, pemberian subsidi transportasi distribusi untuk menekan ongkos distribusi pangan keluar masuk desa, serta program diversifikasi pangan lokal agar masyarakat tidak bergantung hanya pada beras dan telur, melainkan juga memanfaatkan potensi pangan seperti singkong, talas, atau hasil hortikultura khas Pandeglang. Tanpa mengambil langkah yang konkret dalam pengelolaan Dana Desa, kesenjangan antara desa dan kota akan terus melebar dan cita-cita kemandirian pangan hanya akan tinggal wacana, bahkan di wilayah yang seharusnya menjadi tumpuan produksi seperti Kabupaten Pandeglang.

#SinaraBantenMelihat Peningkatan Dana Desa harus dibarengi dengan pengawasan ketat dan program berkelanjutan. Ketahanan pangan bukan sekadar ketersediaan, tapi juga keterjangkauan, kualitas gizi, dan distribusi merata. Jika tidak, desa produsen pangan justru akan terus terjebak dalam lingkaran kemahalan pangan.

© 2025 SINARABANTEN – Syiar Narasi Rakyat Banten

Bagikan pendapat Anda dengan tagar #PanganUntukDesa.

 

Baca Juga

Author

error: Konten dilindungi hak cipta ©sinarabanten.com